Saturday, July 15, 2006

Sampah, Energi atau Kompos?

Oleh OTTO SOEMARWOTO

SAMPAH memang mengandung energi. Pada sampah organik berupa sisa tumbuhan, energi itu berasal dari matahari yang ditangkap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Sampah organik berupa plastik mengandung energi yang berasal dari bahan bakar minyak, batu bara dan gas yang digunakan dalam proses sintesis zat kimia sederhana menjadi zat kimia yang kompleks.

Energi dalam sampah organik, baik yang berupa sisa tumbuhan, maupun sisa bahan berupa zat kimia sintetik dapat dibebaskan lagi dengan pembakaran. Energi yang dibebaskan itu dapat digunakan untuk memanaskan air dalam boiler dan uap yang terbentuk digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik. Terjadilah konversi sampah jadi energi (waste-to-energy). Pada prinsipnya sampah itu digunakan sebagai bahan bakar pengganti BBM, gas atau batubara. Dari segi lingkungan hidup ada dua pertanyaan yang harus dijawab, yaitu pertama berapakah energi netto yang kita dapat dan kedua, pencemaran apa yang terjadi dan berapa banyaknya.

Energi neto ialah banyaknya energi listrik yang didapatkan dikurangi dengan energi yang dikeluarkan untuk membangkitkan energi itu. Dalam hal sampah-jadi-energi energi yang dikeluarkan ialah pertama untuk transpor sampah dari rumah tangga ke TPS dan TPA serta untuk operasi alat-alat berat di TPA. Energi itu berasal dari BBM. Makin jauh letak TPA dari kota, makin besar pula energi yang harus dikeluarkan untuk transpor.

Penggunaan energi besar yang kedua ialah untuk membakar sampah. Penggunaan energi ini berkaitan dengan pengendalian pencemaran. Makin tinggi suhu yang digunakan, makin sempurna, pembakaran sehingga makin banyak karbon yang dibakar menjadi CO2. Misalnya, dioksin, sebuah racun yang sangat berbahaya terjadi dalam proses pembakaran bahan yang mengandung klor (Cl) atau brom (Br), jika suhu pembakaran kurang dari 600 derajat Celsius.

Banyak literatur yang menyebutkan suhu minimal harus 800 derajat Celsius untuk menghindari terjadinya dioksin. Padahal makin tinggi suhu yang ingin dicapai, makin banyak energi yang diperlukan. Dengan lain perkataan makin tinggi suhu yang digunakan, makin kecil energi netto yang kita dapatkan. Para penggagas proses sampah-jadi-energi harus menjawab pertanyaan berapa besar energi netto tersebut dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.

Semua pembakaran menghasilkan zat pencemar, misalnya abu (bottom ash dan fly ash), hidrokarbon, CO2, CO, senyawa nitrogen dan senyawa belerang. Beberapa zat pencemar sangat berbahaya, misalnya dioksin seperti disebut diatas dan beberapa zat yang bersifat karsinogenik. Instalasi sampah jadi energi harus berusaha untuk meminimalkan emisi zat pencemar, misalnya dengan filter untuk abu terbang dan suhu tinggi untuk mencegah terjadinya dioksin. Usaha itu tidaklah murah, tetapi merupakan keharusan.

Pencemaran udara lainnya berasal dari truk pengangkut sampah. Armada truk sampah yang mondar-mandir tidaklah kecil. Jelas, pencemaran udara bukanlah masalah kecil, apalagi bagi Bandung yang terletak dalam sebuah cekungan yang menyebabkan pencemaran udara terperangkap dan sukar untuk disebarkan.

Produksi CO2-pun harus diperhatikan, karena merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Walaupun sebagai negara sedang berkembang tidak diharuskan menurunkan emisi CO2-nya, Indonesia telah mengalami kerugian dari pemanasan global, antara lain, kenaikan frekuensi dan intensitas badai yang menyebabkan banjir dan longsor di beberapa tempat dan kenaikan permukaan laut yang menyebabkan kenaikan intensitas abrasi pantai.

Pencemaran lain yang terjadi pada TPA dan kita abaikan ialah air lindi yang beracun. Dinas Pemda yang bertugas mengelola sampah dan TPA-nya belum pernah mengumumkan dampak air lindi pada air tanah kita. Pengukuran dan pelaporan pencemaran oleh air lindi TPA haruslah segera dilaksanakan, khususnya sumur penduduk di sekitar TPA.

Jelaslah, usaha sampah jadi energi tidak hanya harus layak ekonomi, melainkan juga harus layak lingkungan hidup. Akan sangat ironislah, jika energi BBM yang harus dikeluarkan lebih besar daripada energi listrik yang didapatkan. Dalam hal ini jika seandainya proyek itu layak ekonomi, berarti kelayakan ekonomi itu bertumpu pada subsidi BBM. Karena itu jika energi nettonya negatif, haruslah proyek sampah jadi energi dinyatakan tidak layak (not feasible), meskipun dari segi ekonomi projek itu adalah layak. Juga akan ironis, jika pencemaran sampah diganti dengan pencemaran udara yang makin parah.

Teknologi lain sampah-jadi-energi ialah dengan pembusukan sampah secara anaerobik untuk menghasilkan gas metan. Gas metan yang terbentuk dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Dalam proses ini metan diubah menjadi CO2 yang potensi pemanasan globalnya adalah 1/20 metan. Metan sampah untuk pembangkitan listrik telah dimanfaatkan oleh berbagai negara untuk berdagang karbon dalam kerangka Protokol Kyoto, misalnya Romania, Brasil, India dan Mesir. Mereka telah mengubah sampah mereka menjadi sumber dolar. Mengapa kita tidak? Kecuali mendapatkan dolar, keuntungannya ialah menghindari terjadinya pencemaran udara dari pembakaran sampah.

Bagaimana dengan alternatif pengomposan sampah pada tingkat rumah tangga: sampah-jadi-kompos? Proses sampah-jadi-kompos merupakan usaha bersama kemasyarakatan. Biayanya murah. Tak perlu armada truk yang besar. Tak perlu pula lahan TPA yang luas, karena 50% sampah tidak keluar rumah tangga. Jika dilakukan dengan baik, prosesnya sangat ramah lingkungan hidup. Komposnya dapat digunakan untuk memupuk taman dan jalur hijau kota. Kita menghemat pupuk sintetis. Kendala utamanya ialah sosial, yaitu mengajak masyarakat untuk mau melakukan usaha sampah-jadi-kompos bergotong-royong.

Ironisnya dari pengalaman di beberapa tempat yang telah melakukan usaha ini, kendala itu lebih besar pada keluarga lapisan menengah-atas daripada lapisan menengah-bawah. Alasannya, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka dari pagi sampai malam dan mereka sudah membayar retribusi sampah. Mereka tidak mau bercermin pada masyarakat lapisan menengah-bawah yang harus melakukan hal yang sama. Ada semacam arogansi elite.

Alternatif ketiga, yaitu pembakaran sampah secara sederhana haruslah segera dilarang, karena berbahaya bagi kesehatan kita.

Nampaklah kedua alternatif, yaitu sampah-jadi-energi dan sampah-jadi-kompos, mempunyai kendala serius. Sampah jadi energi membutuhkan modal besar dan lahan TPA yang luas. Lahan itu makin sulit didapat, baik karena memang makin sedikit lahan bebas yang dapat digunakan untuk TPA, maupun karena banyak penduduk yang menolak. Ditambah lagi oleh permainan para calo lahan. Lahan yang tersedia makin jauh letaknya dari kota. Dampak lingkungannya juga tak boleh diabaikan. Sebaliknya sampah-jadi-kompos kendala utamanya bukan modal. Bukan pula lahan TPA. Tetapi partisipasi masyarakat. Meskipun 50% sampah dapat dicegah keluar dari rumah tangga, jika yang ikut hanya 1% dari jumlah rumah tangga, jumlah 50% -- atau bahkan jika melibatkan para pemulung dapat sampai 90% -- dari 6.000 - 8.000 ton sampah per hari sangat tidak berarti, yaitu hanya 30-40 ton per hari yang tidak keluar dari rumah tangga. Saran saya ialah biar kedua usaha dilakukan oleh masing-masing pendukungnya. Keduanya harus memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Keduanya harus pula terbuka pada kritik yang mambangun dan mau menerima kritik itu. Keduanya harus transparan. Tidak perlu kita menyikapinya secara kontroversial, apalagi dengan demonstrasi. Marilah kita berkompetisi untuk mendapatkan yang terbaik bagi Kota Bandung tercinta ini.***

Penulis, guru besar emeritus.

Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Juli 2006.

Olimpiade Fisika Internasional

*Indonesia Optimistis Raih 2 Emas

[JAKARTA] Tim Olimpiade Fisika Internasional (TOFI) berpeluang meraih dua medali emas dalam ajang Olimpiade Fisika Internasional (OFI) ke-37 di Singapura.Dari uji fisika teori, ada dua peserta Indonesia yang mendapatkan nilai baik. Bahkan, ada satu orang peserta Indonesia yang meraih poin yang mendekati sempurna.

Hal itu dikatakan Ketua TOFI Yohanes Surya di Singapura seperti disampaikan Koordinator Publikasi OFI dari Departemen Pendidikan Nasional, Hidayat Muchtar kepada Pembaruan, melalui surat elektronik Jumat (14/7). Menurut Yohanes, peluang dua medali emas diperkirakan dapat diraih Jonathan Pradana Mailoa (SMAK 1 BPK PENABUR Jakarta) dan Pangus Ho (SMAK 3 BPK PENABUR Jakarta). Sedangkan tiga peserta dari Indonesia, Irwan Ade Putra (SMAN 1 Pekan Baru, Riau), Andy Octavian Latief (SMAN 1 Pamekasan), dan Muhammad Firmansyah Kasim (SMP Athirah Makasar, Sulawesi Selatan) berpeluang meraih medali perak dan perunggu.

"Peluang ini saya perkirakan setelah saya memeriksa jawaban uji fisika teori. Tapi, tim juri belum memberitahu ke kita berapa nilai pastinya. Kita tunggu saja nanti," kata Yohanes.

Yohanes mengatakan, hasil uji fisika teori nanti akan ditambahkan dengan nilai uji eksperimen fisika. Sayangnya, tidak semua peserta Indonesia melakukan uji eksperimen dengan baik. "Firman mengatakan kepada saya, kalau dia kesulitan menyelesaikan uji eksperimen, karena dia mengambil data terlalu banyak. Sehingga, dia tidak sempat membuat analisisinya. Maklum lah, baru SMP," kata Yohanes.

Perolehan medali sangat tergantung dengan nilai uji teori dan eksperimen dari tim OFI negara lain. Panitia memberikan bobot penilaian sebesar 40 persen untuk uji eksperimen dan 60 persen untuk hasil uji teori fisika. Selain itu, perolehan medali juga ditentukan oleh jumlah medali yang akan diperebutkan dalam kompetisi untuk pelajar SMA ini. Pada Kamis (13/7) malam, panitia dan pembina akan membahas batas perolehan medali emas, perak, dan perunggu. "Biasanya sih, setiap tahunnya ada 20 sampai 30 medali emas yang diperebutkan,'' kata Yohanes.

Dalam OFI 2006, para peserta terbaik adalah mereka yang berhasil masuk enam persen dari jumlah peserta yang akan meraih medali emas 12 persen berikutnya perak, dan 18 persen berikutnya lagi perunggu. "Tim juri akan memberi penilaian, tapi kita sebagai pembina bisa mengajukan keberatan di International Board Meeting. Setelah moderasi nilai peserta, seorang peserta yang nilainya masuk dalam jangkauan suatu medali dari penentuan awal, peserta itu berhak mendapatkan medali," kata dia.

Sebelumnya, TOFI menargetkan tiga medali emas dalam ajang OFI ke-37 di Singapura. Tahun lalu, Indonesia berhasil meraih dua emas di OFI ke-36 di Salamanca, Spanyol.

Olimpiade fisika adalah pertandingan fisika antarpelajar terbaik di dunia yang sudah berlangsung sejak tahun 1967. Tiap negara mengirimkan maksimal lima pelajar terbaiknya. Indonesia mengikuti OFI sejak 1993, saat itu Okky Gunawan mendapatkan satu medali perunggu. Sejak saat itu, Indonesia terus mencatatkan prestasi dan bersaing dengan tim unggulan OFI seperti China, Hungaria, Rusia dan Amerika Serikat.

Fisika Eksperimen Sulit
Sementara itu berdasar pengakuan sejumlah peserta dari beberapa negara yang ditemui wartawan sesuai menyelesaikan uji fisika eksperimen di sports hall Nanyang Institute of Education (NIE) Rabu (12/7) mengaku soal uji eksperimen Olimpiade Fisika Internasional (OFI) ke-37 lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan soal uji eksperimen olimpiade serupa tahun lalu. Para peserta mengaku kesulitan untuk menyelesaikan persoalan dengan baik.

Kesulitan besar dalam mengerjakan uji eksperimen fisika ini adalah banyaknya pertanyaan yang diajukan, padahal waktunya terbatas. Para peserta sebagian besar mengerjakan soal dengan terburu-buru. Rata-rata dibutuhkan waktu satu jam lebih 15 menit untuk menyelesaikan satu soal. "Soal pada olimpiade kali ini sangat sulit, saya selesai mengerjakan pada menit-menit terakhir," kata Halasz Gabor, peserta OFI ke-37 asal Hungaria yang tahun lalu meraih medali emas OFI ke-36 dengan poin tertinggi 49,5.

Hal senada juga diungkapkan oleh peserta tim unggulan OFI dari negara China, Zhu Li. Dia mengatakan, materi soalnya sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya karena keterbatasan waktu, menjadikan olimpiade kali ini lebih berat. Karena itu, dirinya tidak yakin akan mendapatkan medali emas pada olimpiade untuk pelajar SMA ini. "Kami disajikan empat soal yang memang memerlukan waktu lama untuk mengerjakannya. Kalau waktunya cukup, pasti bisa saya selesaikan dengan lebih baik lagi," katanya.

Sementara itu, peserta dari Indonesia, Andy Octavian Latief mengakui dirinya cukup kesulitan untuk merampungkan jawaban dari empat soal yang diberikan panitia OFI ke-37. "Kesulitannya, karena waktunya mepet. Ada empat eksperimen yang seluruh jawabannya berkaitan. Sementara itu, kami harus riset alat mulai dari awal lagi jika pindah ke persoalan lain. Makanya, saya selesai sepuluh menit sebelum waktu berakhir,'' ujar siswa SMAN 1 Pamekasan yang pernah meraih medali perunggu dalam ajang Olimpiade Fisika Asia VII di Kazakshtan.[E-8].

Sumber: Suara Pembaruan, 14 Juli 2006